Anda tentunya pernah melihat film animasi “Upin
Ipin” buatan Malaysia. Meski asalnya dari negara tetangga, tetapi
ternyata di balik pembuatan film itu ada tenaga muda dari Indonesia. Tak hanya di “Upin Ipin” ada rasa
Indonesia, di film animasi Malaysia lain pun bisa ditemui tenaga-tenaga andal
dari Indonesia.
Mereka adalah Marsha Chikita Fawzi dan Aditya
Prabaswara. Mungkin tidak banyak orang yang tahu kedua orang ini karena
sehari-hari mereka memang hidup dan tinggal di Malaysia, meski keduanya berasal
dari Jakarta, Indonesia.
Namun, bila mendengar kata-kata “Upin Ipin”,
tentu semua orang tahu. Ya, mereka adalah salah satu dari tim Las Copac, studio
yang memproduksi film Upin Ipin tersebut.
Marsha mengawali dunia animasi sejak di bangku
kuliah. Marsha menimba ilmu di Multi Media University di Selangor Malaysia
sejak lima tahun lalu. Kebetulan seniornya bekerja di Las Copac dan menawarinya
untuk magang sekaligus bekerja paruh waktu (part time) di sana.
Atas kinerjanya yang memuaskan, Marsha pun
dipanggil oleh Las Copac dan ditawari untuk bekerja di sana. Namun, untuk masuk
ke studio tersebut juga tidak gampang karena harus melalui tes dan sudah
memiliki keterampilan di bidang animasi. Marsha yang sudah mengetahui
seluk beluk animasi dan sejak awal sudah magang di sana, bisa dengan mudah
menjadi bagian di studio tersebut.
Awalnya, Marsha bekerja serabutan di studio
itu. Maklum untuk bisa menjadi profesional, pekerja di sana harus bisa
mengerjakan semua bagian. Tapi kini Marsha sudah mendapat posisi yang pasti,
yaitu di bagian komposter. Bagian tersebut khusus menangani efek visual
termasuk pewarnaan pada animasi agar terlihat sempurna dan enak dilihat.
“Suatu saat saya akan membuat film animasi
sendiri dan Indonesia banget,” kata Marsha yang ditemui saat Workshop Hellofest
di Jakarta, Jumat (3/2/2012).
Bekerja di Las Copac membuat putri dari Ikang
Fawzy dan Marissa Haque ini juga bisa belajar dengan seniornya di sana. Paling
tidak, Marsha mendapat pelajaran bagaimana membuat animasi yang baik, bekerja
secara tim, dan membuat animasi yang mengajarkan moral kepada anak-anak.
Baginya, film animasi Upin Ipin adalah salah
satu film animasi untuk anak-anak yang memberi pelajaran sopan santun. Sebagai
seorang remaja, Marsha juga berkeinginan memberikan sesuatu yang dibuatnya bisa
bermanfaat bagi semua yang menontonnya. “Saat ini banyak film yang tidak
cocok untuk ditonton anak-anak. Orang tua harus berperan aktif memilah film
yang bagus untuknya,” kata gadis manis yang dulu bercita-cita menjadi pelukis
ini.
Tidak jauh berbeda dengan Marsha, Aditya
Prabaswara juga sudah menyenangi dunia animasi sejak kecil. Dia satu almamater
dengan Marsha di Multi Media University Malaysia.
Namun Aditya tidak satu perusahaan dengan
Marsha di Las Copac. Cowok yang masih menjalani semester akhir di MMU ini
bekerja paruh waktu di Animonsta, salah satu pecahan dari Las Copac.
Saat ini dia dipercaya sebagai Modeller di
Animonsta. Tugasnya adalah mengubah gambar atau sketsa animasi menjadi gambar
berkualitas 3 dimensi. Film yang dibuatnya adalah Bo Boi Boy, film animasi yang
masih setipe dengan Upin Ipin, tapi lebih terkesan sebagai animasi pahlawan
(hero). Film ini juga bakal tayang di salah satu televisi swasta di Indonesia.
Marsha dan Aditya punya keinginan yang sama,
yaitu membuat studio sendiri, membuat film animasi sendiri, dan bisa dijual
atau dinikmati di negeri sendiri, syukur kalau bisa dinikmati di negara lain.
Tapi jawaban mereka seragam terkait kendala yang dihadapi. “Di sini
(Indonesia) kurang ada dukungan dari pemerintah. Kebanyakan animator bergerak
sendiri,” kata Aditya.
Padahal di Malaysia, mereka difasilitasi baik
berupa dukungan dana hingga kantor. Promosi film animasi juga didukung oleh
berbagai pihak, terutama agar film animasi tersebut bisa dinikmati di negara lain.
Sebenarnya, film animasi lokal masih bisa
berpotensi besar dan bisa diterima di negara lain. Aditya menyarankan agar
animator bisa melakukan survei terlebih dahulu untuk mengetahui keinginan
pasar. Selain itu, karakter tokoh pun akan lebih baik disesuaikan dengan konten
lokal.
“Saya kagum dengan film Si Doel Anak Sekolahan
dan Unyil.
Film itu benar-benar membawa pesan moral bagi penontonnya. Suatu saat saya juga
akan membuat film animasi yang seperti itu,” katanya. Tidak hanya itu,
animator lokal juga harus berpromosi terhadap film animasi buatannya.
Maksudnya, film tersebut agar bisa diketahui oleh orang lain, lembaga lain
bahkan institusi lain.
“Memang karakter penonton Indonesia itu unik,
lebih suka produk dari negeri lain,” katanya. Tapi secara perlahan
masyarakat Indonesia diharapkan bisa menghargai karya dari anak bangsa sendiri,
terutama dari hasil karya anak muda bangsa Indonesia.
“Kayuh Baimbai Mambangun Banua”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar