Sejak enam kecamatan memisahkan diri menjadi
Kabupaten Balangan, otomatis Kabupaten Hulu Sungai Utara kehilangan sumber
pendapatan dari hasil hutan dan tambang batu bara. Meski demikian tidak lantas
menjadikan Kabupaten HSU menjadi lumpuh perekonomiannya. Masyarakat bawah masih
optimis menghadapi tantangan tersebut karena Hsu yang beribu kota Amuntai
ternyata masih menyimpan potensi andalan yaitu kerajinan dan peternakan.
Tiap Rabu dini hari, pasar itik Alabio di
Kecamatan Sungai Pandan penuh sesak oleh masyarakat peternak itik alabio.
Puluhan mobil pick up, angkutan pedesaan, dan perahu lalu lalang membawa itik,
telur, maupun pakan untuk diperdagangkan.
Pasar fenomenal tidak hanya pada Rabu dini
hari. Kamis dini hari di depan gedung olahraga juga menjadi simbol dan
identitas lain Hulu Sungai Selatan. Pada Kamis dini hari itu berkumpul ratusan
perajin dari seluruh penjuru menjual barang kerajinan. Mulai dari kerajinan
rotan berupa lampit dan peralatan mebel sampai kerajinan tradisional anyaman
bambu, seperti berbagai alat tangkap ikan, semua ada di pasar itu. Di tempat
terpisah, tepatnya di depan Dermaga Banua Lima pada Kamis pagi juga ada pasar
lemari terbesar di Kalsel.
Baik pasar itik alabio, pasar kerajinan, maupun
pasar lemari menjadi identitas Amuntai. Dari berbagai provinsi di luar Kalsel
mengandalkan pasar itu untuk mencari ternak atau barang kerajinan bermutu
dengan harga yang relatif murah.
Menurut Kepala Subdinas Produksi dan Kesehatan
Hewan Dinas Peternakan Hulu Sungai Utara Suryadi, peternakan itik menghidupi
sekurangnya 14.000 keluarga. Jumlah populasi itik kini juga semakin berkembang,
mencapai lebih dari 1,2 juta ekor.
Di sektor kerajinan rakyat, Kepala Subdinas
Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Hulu Sungai Utara, Ibransyah
mengatakan, kerajinan kini menjadi andalan utama Hulu Sungai Utara, dan
walaupun pasar kerajinan di Amuntai hanya informal, kini menjadi pusat
kerajinan terbesar di Kalsel.
Dulu produknya hanya anyaman bambu untuk alat
tangkap ikan tradisional dan beberapa peralatan rumah tangga seperti nyiru dan
bakul, sekarang dikembangkan berbagai desain kerajinan rotan seperti kursi
tamu, kursi malas, kursi bundar, rak sudut, rak sepatu, rak pakaian, tempat
koran, mainan anak-anak dan lain-lain. Untuk jenis kerajinan bambu terdiri dari
kursi tamu, kursi malas, lampu hias, kipas hias dan lain-lain. Akhirnya,
kerajinan rakyat itu kini mendominasi kerajinan khas Banjar yang pasarnya
menembus berbagai provinsi dan diekspor ke sejumlah negara.
Menurut Haji Ramli, seorang perajin rotan dari
sungai limas, sebenarnya kerajinan rotan berupa kursi, rak dan lemari dulunya
dibuat oleh perajin yang berasal dari pulau jawa yang kebetulan tinggal di desa
tersebut. Lalu keterampilan tersebut menyebar pada warga sekitarnya. Haji Ramli
sendiri memulai membuat kursi rotan pada tahun 1990. sebelumnya beliau bekerja
di sebuah gudang pengolahan rotan. Setelah berhenti bekerja sebagai karyawan
beliau belajar pada seorang perajin yang lebih dahulu menguasai cara membuat
kursi rotan dengan biaya Rp 300.000 per minggu. Dalam satu minggu beliau sudah
mampu menguasai teknik membuat kursi rotan.
Lain lagi cerita Bapak Abdul Wahid, seorang
perajin dari desa Pihaung. Dulunya beliau dan beberapa temannya sesama perajin
dikirim pemerintah untuk magang kerajinan bambu di pulau jawa. Setelah pulang
sebagian temannya merasa pesimis untuk menerapkan pengetahuannya di kampung.
Karena di tempat magang pembuatan kursi dari bambu sudah menggunakan peralatan
mesin. Sementara di kampung mesin tersebut belum tersedia. Namun Pak Wahid,
demikian beliau disapa sehari-hari, tidak berputus asa. Dengan peralatan
seadanya beliau mencoba membuat kursi bambu seperti yang dilihatnya di pulau
Jawa. Karena belum terkenal maka kursi buatan pak Wahid belum ada yang membeli.
Meski demikian pak Wahid tetap memajang kursi hasil kreasinya di depan
rumahnya. Hingga suatu ketika kursi tersebut di bawa sebagai bahan pameran oleh
pemerintah. Sejak itu mulailah kerajinan kursi bambu berkembang di desa
Pihaung.
Masih menurut cerita Pak Wahid yaitu ketika
beliau pertama kali membuat kipas hias. Beliau kebingunan saat ingin membuat
kipas hias karena meski sudah melihat bentuknya namun belum tahu ukurannya.
Maka beliau membeli sebuah kipas hias yang sudah jadi lalu membawanya ke
kampung. Di kampungnya kipas hias tersebut dibongkar hingga bagian-bagiannya
terpisah. Lalu bagian-bagian yang terpisah tersebut disatukan kembali seperti
sedia kala.
Berkembangnya usaha kerajinan di Kabupaten Hulu
Sungai Utara atau di Amuntai dan sekitarnya hingga mencapai pada kondisi
seperti saat ini tidak lepas dari dukungan pemerintah melalui Disperindag.
Dukungan tersebut diberikan dalam bentuk pembinaan dan penyediaan modal. Di
desa Pihaung telah terbentuk kelompok perajin dan Koperasi Wanita (Kopwan).
Demikian pula di desa Jumba dan desa Sungai Hirang. Namun sayangnya para
perajin di desa Sungai Limas tidak mau membentuk kelompok meski sudah
dianjurkan oleh Disperindag. Alasannya adalah karena para perajin lebih senang
berkerja sendiri-sendiri atau berkelompok dalam rumah tangga masing-masing.
Kondisi yang juga mempengaruhi perkembangan
kerajinan adalah minimnya sumber daya alam sehingga memacu masyarakat untuk
lebih kreatif menciptakan usaha alternatif disamping usaha pokok yaitu menanam
padi sawah. Ironisnya adalah semua desa yang menjadi sentra produksi kerajinan
justru tidak memiliki sumber daya alam yang menjadi bahan baku kerajinan
tersebut. Semua bahan baku, baik itu rotan, bambu, purun dan kayu didatangkan
dari luar daerah bahkan ada yang didatangkan dari Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
“Kayuh Baimbai Mambangun Banua”
Sumber : Media Online (Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar