Jumat, 12 April 2013

Amuntai Memanfaatkan Apa Yang Ada Meski Tanpa Hasil Hutan Dan Hasil Tambang



Sejak enam kecamatan memisahkan diri menjadi Kabupaten Balangan, otomatis Kabupaten Hulu Sungai Utara kehilangan sumber pendapatan dari hasil hutan dan tambang batu bara. Meski demikian tidak lantas menjadikan Kabupaten HSU menjadi lumpuh perekonomiannya. Masyarakat bawah masih optimis menghadapi tantangan tersebut karena Hsu yang beribu kota Amuntai ternyata masih menyimpan potensi andalan yaitu kerajinan dan peternakan.
Tiap Rabu dini hari, pasar itik Alabio di Kecamatan Sungai Pandan penuh sesak oleh masyarakat peternak itik alabio. Puluhan mobil pick up, angkutan pedesaan, dan perahu lalu lalang membawa itik, telur, maupun pakan untuk diperdagangkan.

Pasar fenomenal tidak hanya pada Rabu dini hari. Kamis dini hari di depan gedung olahraga juga menjadi simbol dan identitas lain Hulu Sungai Selatan. Pada Kamis dini hari itu berkumpul ratusan perajin dari seluruh penjuru menjual barang kerajinan. Mulai dari kerajinan rotan berupa lampit dan peralatan mebel sampai kerajinan tradisional anyaman bambu, seperti berbagai alat tangkap ikan, semua ada di pasar itu. Di tempat terpisah, tepatnya di depan Dermaga Banua Lima pada Kamis pagi juga ada pasar lemari terbesar di Kalsel.
Baik pasar itik alabio, pasar kerajinan, maupun pasar lemari menjadi identitas Amuntai. Dari berbagai provinsi di luar Kalsel mengandalkan pasar itu untuk mencari ternak atau barang kerajinan bermutu dengan harga yang relatif murah.
Menurut Kepala Subdinas Produksi dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Hulu Sungai Utara Suryadi, peternakan itik menghidupi sekurangnya 14.000 keluarga. Jumlah populasi itik kini juga semakin berkembang, mencapai lebih dari 1,2 juta ekor.
Di sektor kerajinan rakyat, Kepala Subdinas Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Hulu Sungai Utara, Ibransyah mengatakan, kerajinan kini menjadi andalan utama Hulu Sungai Utara, dan walaupun pasar kerajinan di Amuntai hanya informal, kini menjadi pusat kerajinan terbesar di Kalsel.
Dulu produknya hanya anyaman bambu untuk alat tangkap ikan tradisional dan beberapa peralatan rumah tangga seperti nyiru dan bakul, sekarang dikembangkan berbagai desain kerajinan rotan seperti kursi tamu, kursi malas, kursi bundar, rak sudut, rak sepatu, rak pakaian, tempat koran, mainan anak-anak dan lain-lain. Untuk jenis kerajinan bambu terdiri dari kursi tamu, kursi malas, lampu hias, kipas hias dan lain-lain. Akhirnya, kerajinan rakyat itu kini mendominasi kerajinan khas Banjar yang pasarnya menembus berbagai provinsi dan diekspor ke sejumlah negara.
Menurut Haji Ramli, seorang perajin rotan dari sungai limas, sebenarnya kerajinan rotan berupa kursi, rak dan lemari dulunya dibuat oleh perajin yang berasal dari pulau jawa yang kebetulan tinggal di desa tersebut. Lalu keterampilan tersebut menyebar pada warga sekitarnya. Haji Ramli sendiri memulai membuat kursi rotan pada tahun 1990. sebelumnya beliau bekerja di sebuah gudang pengolahan rotan. Setelah berhenti bekerja sebagai karyawan beliau belajar pada seorang perajin yang lebih dahulu menguasai cara membuat kursi rotan dengan biaya Rp 300.000 per minggu. Dalam satu minggu beliau sudah mampu menguasai teknik membuat kursi rotan.
Lain lagi cerita Bapak Abdul Wahid, seorang perajin dari desa Pihaung. Dulunya beliau dan beberapa temannya sesama perajin dikirim pemerintah untuk magang kerajinan bambu di pulau jawa. Setelah pulang sebagian temannya merasa pesimis untuk menerapkan pengetahuannya di kampung. Karena di tempat magang pembuatan kursi dari bambu sudah menggunakan peralatan mesin. Sementara di kampung mesin tersebut belum tersedia. Namun Pak Wahid, demikian beliau disapa sehari-hari, tidak berputus asa. Dengan peralatan seadanya beliau mencoba membuat kursi bambu seperti yang dilihatnya di pulau Jawa. Karena belum terkenal maka kursi buatan pak Wahid belum ada yang membeli. Meski demikian pak Wahid tetap memajang kursi hasil kreasinya di depan rumahnya. Hingga suatu ketika kursi tersebut di bawa sebagai bahan pameran oleh pemerintah. Sejak itu mulailah kerajinan kursi bambu berkembang di desa Pihaung.
Masih menurut cerita Pak Wahid yaitu ketika beliau pertama kali membuat kipas hias. Beliau kebingunan saat ingin membuat kipas hias karena meski sudah melihat bentuknya namun belum tahu ukurannya. Maka beliau membeli sebuah kipas hias yang sudah jadi lalu membawanya ke kampung. Di kampungnya kipas hias tersebut dibongkar hingga bagian-bagiannya terpisah. Lalu bagian-bagian yang terpisah tersebut disatukan kembali seperti sedia kala.
Berkembangnya usaha kerajinan di Kabupaten Hulu Sungai Utara atau di Amuntai dan sekitarnya hingga mencapai pada kondisi seperti saat ini tidak lepas dari dukungan pemerintah melalui Disperindag. Dukungan tersebut diberikan dalam bentuk pembinaan dan penyediaan modal. Di desa Pihaung telah terbentuk kelompok perajin dan Koperasi Wanita (Kopwan). Demikian pula di desa Jumba dan desa Sungai Hirang. Namun sayangnya para perajin di desa Sungai Limas tidak mau membentuk kelompok meski sudah dianjurkan oleh Disperindag. Alasannya adalah karena para perajin lebih senang berkerja sendiri-sendiri atau berkelompok dalam rumah tangga masing-masing.
Kondisi yang juga mempengaruhi perkembangan kerajinan adalah minimnya sumber daya alam sehingga memacu masyarakat untuk lebih kreatif menciptakan usaha alternatif disamping usaha pokok yaitu menanam padi sawah. Ironisnya adalah semua desa yang menjadi sentra produksi kerajinan justru tidak memiliki sumber daya alam yang menjadi bahan baku kerajinan tersebut. Semua bahan baku, baik itu rotan, bambu, purun dan kayu didatangkan dari luar daerah bahkan ada yang didatangkan dari  Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Kayuh Baimbai Mambangun Banua”
Sumber : Media Online (Internet)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar